Ujian Nasional; antara Harapan dan Realita
Oleh Ari Hasan Ansori, M.PdI, M.Pd
Pendidikan bagi kehidupan umat manusia di muka bumi termasuk bangsa Indonesia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan, manusia mustahil dapat hidup dan berkembang sejalan dengan cita-cita dan tujuan hidup. Begitu pentingnya peranan pendidikan dalam tata kehidupan peribadi maupun masyarakat, maka dalam pengembangan watak bangsa haruslah berpegang dan bertumpu pada landasan pendidikan yang kuat. Untuk mewujudkan itu, maka tidak ada jalan lain hanya dengan menyiapkan sistem pendidikan nasional yang memperlihatkan jati diri bangsa sebagai refleksi kehidupan bangsa dan negara serta tujuan terbentuknya negara. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu “…memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia.”
Dengan demikian, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk meningkatkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan. Pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam meningkatkan mutu kehidupan dan martabat bangsa dan negara, sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Sebagaimana dalam Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “Pembangunan nasional dalam bidang pendidikan merupakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur serta memungkinkan warga negaranya mengembangkan diri, baik berkenaan dengan aspek jasmaniah maupun rohaniah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Selanjutnya, dijelaskan dalam UU No. 20/2003, bahwa : “Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Untuk mengembangkan tujuan tersebut, pemerintah melakukan reformasi pendidikan dengan menetapkan strategi pokok pengembangan pendidikan nasional, yaitu pemerataan kesempatan pendidikan, relevansi atau kesesuaian pendidikan dengan pembangunan, kualitas pendidikan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan, serta partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Pendidikan merupakan usaha sadar, karena disadari adanya unsur kesengajaan dari pendidikan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi anak. Dan juga pendidikan sifatnya berlangsung seumur hidup, baik yang berlangsung di dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Memasuki abad ke-21, isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mencuat ke permukaan, tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, tapi semua jalur dan jenjang pendidikan. Hal ini karena disadari bahwa prestasi pendidikan di Indonesia tertinggal jauh di bawah negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Jepang, dan Malaysia.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa negara Indonesia merupakan negara asia yang indeks pendidikannya terletak pada urutan jauh tertinggal. Ketertinggalan pendidikan ini menurut Dody Heriawan Priatmoko sebagaimana dikutif oleh Dede Rosyada adalah karena rendahnya mutu pendidikan, dan indikator rendahnya mutu pendidikan nasional dapat dilihat dari prestasi siswa.
Menurut laporan Bank Dunia, tahun 1992, hasil studi IEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk tingkat SD adalah 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Indikator lain rendahnya mutu pendidikan nasional adalah dapat terlihat dari data UNESCO tahun 2000, peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) Indonesia yaitu bahwa komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Diantara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 pada tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 tahun 1998, ke-109 tahun 1999, dan urutan ke-112 pada tahun 2000. Kemudian Human Development Index (HDI) Indonesia menunjukkan bahwa peringkat kualitas sumber daya manusia Indonesia pada tahun 2002 memiliki nilai 0,684 berada pada rangking 110, dibawah Vietnam, Malaysia dan Singapura. Pada tahun 2003, Indonesia peringkatnya semakin memburuk yaitu peringkat 112 dibawah Vietnam (109), Filipina (85), Thailand (74), Brunei Darusalam (31), Korea (30), dan Singapura (28). Begitu juga dengan hasil survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, tahun 1999 memperlihatkan bahwa diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SMP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk mata pelajaran IPA dan urutan ke-34 untuk mata pelajaran Matematika. Dan dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di Asia Pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
Salah satu faktor penting yang menyebabkan rendahnya peringkat HDI Indonesia adalah karena angka partisipasi murni dan angka partisipasi kasar (APM dan APK) pendidikan. Berdasarkan data Balitbang Depdiknas menyebutkan APM pada jenjang SD/MI 94,44%, SMP/MTs 54,81%, dan SMA/MA 31,46%.
Dengan demikian jelas bahwa begitu rendahnya kualitas pendidikan dan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang sangat jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia apalagi negara-negara lainnya di dunia. Oleh karena itu pemerintah harus berupaya dengan serius untuk memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia.
Sebagai negara yang tertinggal dalam dunia pendidikan, maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melakukan perbaikan dan pembenahan dalam dunia pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan secara menyeluruh, sehingga dapat mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain. Dan dengan adanya perubahan dan perbaikan dalam pendidikan di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan mutu lulusan pendidikan. Sehingga diharapkan lulusan pendidikan Indonesia harus mampu bersaing dalam pasar tenaga kerja baik dalam negeri maupun di luar negeri, serta memiliki beberapa kemampuan diantaranya; berwawasan global, berpikir mendunia, memahami berbagai karakteristik kultur masyarakat dunia, menguasai bahasa global, menguasai berbagai keterampilan dalam penggunaan alat-alat teknologi modern, dan memiliki basis keahlian yang relevan dengan kebutuhan pasar.”
Menyadari pentingnya pembangunan pendidikan bagi bangsa dan negara, karena keberhasilan pembangunan pendidikan akan menentukan keberhasilan bangsa Indonesia di masa mendatang, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai wakil rakyat harus memiliki kepakaan dan pandangan jauh ke depan dalam pembangunan bangsa dan negara, salah satunya adalah pembangunan dalam bidang pendidikan. Karena itu, maka MPR-RI membuat suatu keputusan politik untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional dengan menetapan anggaran pendidikan nasional sebesar 20% dari APBN dan APBD dalam Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 yang telah diamandemen.
Banyak upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan. Diantaranya mengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan undang-undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, yang tujuannya tiada lain adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Upaya juga dilakukan dengan cara membangun berbagai gedung baru dan sarana pendidikan lainnya, penggantian kurikulum, sistem pembelajaran diperbaharui, guru-guru dan pengelola pendidikan ditatar, sistem manajemen pendidikan diganti, semua ini dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Namun saying, dari berbagai upaya yang dilakukan tersebut, hasil pendidikan di Indonesia belum dapat menggembirakan, dengan bukti bahwa kualitas Sumber Daya Manusia yang dihasilkan melalui pendidikan masih kalah kualitasnya dengan Sumber Daya Manusia negara-negara lain, termasuk negara tetangga.
Upaya lain yang juga dilakukan pemerintah dalam melakukan reformasi pendidikan adalah dengan menyempurnakan sistem pendidikan nasional. Menyadari hal itu, maka pada tahun 2003 lahirlah Undang-Undang N0.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai pengganti dari Undang-Undang N0.2/1989. Salah satu isu penting dalam Undang-Undang N0.20/2003 tersebut adalah sistem penilaian pendidikan.
Sistem penilaian yang dilakukan pada Sistem Pendidikan Nasional dalam rangka standarisasi nasional adalah melalui ujian nasional yang dilakukan dalam waktu yang sama untuk tiap jenjang pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Mendiknas Nomor 20 Tahun 2005 sebagai berikut : “Ujian Nasional adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah.”
Adapun tujuan diselenggarakannya Ujian Nasional pada pendidikan dasar dan menengah adalah untuk melakukan penilaian atau evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pembelajaran apakah siswa atau peserta didik sudah mencapai kompetensi lulusan secara nasional atau tidak. Secara lengkap tujuan dilaksanakanannya Ujian Nasional dijelaskan dalam Peraturan Mendiknas Nomor 20 Tahun 2005 sebagai berikut : “Ujian Nasional bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran yang diujikan dari kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan.”
Dengan demikian jelas bahwa diselenggarakannnya Ujian Nasional dalam sistem pendidikan nasional merupakan upaya yang dilakukan untuk mengukur dan mengevaluasi pencapaian standar nasional pendidikan yang diselenggarakan baik pada tingkat pendidikan dasar maupun pada tingkat pendidikan menengah dengan mata ujian yang telah ditentukan sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada dan dilaksanakan pada setiap lembaga pendidikan yang memenuhi syarat.
Mulai tahun 2003 lembaga-lembaga pendidikan dasar dan menengah ditantang serta dituntut oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran yang diselenggarakannya. Dimana siswa yang berada pada tingkat akhir atau kelas yang akan lulus dan memenuhi syarat harus mengikuti Ujian Nasional. Ujian Nasional yang diselenggarakan pada tahun ini berbeda dengan Ujian Nasional pada tahun-tahun sebelumnya, karena Ujian Nasional pada tahun ini hasil Ujian Nasional yang diperoleh siswa yang mengikuti ujian adalah minimal 4,01 yang dinyatakan lulus, jika tidak maka siswa harus mengulangnya pada waktu yang telah ditentukan dalam selang waktu satu sampai dua minggu setelah pengumuman hasil ujian utama.
Kemudian pada tahun 2006 kriteria kelulusan bagi siswa yang mengikuti Ujian Nasional sedikit ditingkatkan, yaitu batas nilai lulus hasil Ujian Nasional adalah lebih besar dari 4,25 dan dengan nilai rata-rata lebih besar dari 4,50. Hal ini sesuai Peraturan Mendiknas No.20 tahun 2005, yaitu “Peserta didik dinyatakan lulus Ujian Nasional apabila memiliki nilai lebih besar dari 4,25 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan dengan rata-rata ujian nasional lebih besar dari 4,50.” Apabila siswa tidak memenuhi kriteria tersebut maka siswa dinyatakan tidak lulus dan dapat mengulang pada tahun depan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Mendiknas No.20 tahun 2005, yaitu “Peserta didik yang belum lulus Ujian Nasional berhak mengikuti Ujian nasional pada tahun berikutnya.”
Dengan sistem kelulusan seperti itu, muncul berbagai pendapat ada yang kelompok pro dan ada pula kelompok yang kontra. Pendapat kelompok yang pro terhadap sistem penilaian tersebut merupakan pendapat yang setuju bahwa kualitas pendidikan yang diselenggarakan harus teruji dan mampu membedakan siswa yang berkualitas atau siswa yang tidak berkualitas. Sedangkan kelompok yang kontra merupakan kelompok yang merasa khawatir dan merasa tidak siap terhadap sistem kelulusan yang digunakan tersebut.
Lembaga pendidikan sebagai lembaga pelaksana atas segala kebijakan yang telah digulirkan dan disyahkan oleh pemerintah, tidak punya pilihan apa-apa harus menerima dan harus mempersiapkan diri dalam pelaksanaan ujian nasional dengan sistem kelulusan sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas No.20 tahun 2005 tentang Ujian Nasional. Oleh karena itu, lembaga pendidikan melakukan berbagai upaya agar siswanya lulus dalam ujian nasional sesuai dengan kriteria yang ditentukan.
Hasil Ujian Nasional merupakan hasil belajar dan sebagai alat ukur yang digunakan untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah proses belajar mengajar dengan standar nasional. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Abin Syamsudin bahwa : “hasil belajar adalah kecakapan yang nyata dan aktual untuk menunjukkan pada aspek kecakapan yang segera didemonstrasikan dan diuji sekarang juga, karena merupakan hasil usaha atau proses belajar yang bersangkutan dengan cara atau metode, bahan atau materi dan hal tersebut yang telah dijalaninya.” Dan yang dikemukakan oleh Muhibin Syah, bahwa “hasil belajar merupakan alat ukur yang digunakan untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah proses belajar mengajar (Teaching Learning Process) atau untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah program pengajaran.” Serta yang dimeukakan oleh Nana Sudjana, yaitu “hasil belajar merupakan kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajar.”
Untuk mencapai hasil belajar yang baik dalam kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan dalam suatu lembaga pendidikan salah satu barometernya adalah hasil Ujian Nasional. Sehingga disamping telah melaksanakan kegiatan pembelajaran pokok, setiap lembaga pendidikan melaksanakan kegiatan belajar tambahan sebagaimana yang telah djelaskan di atas.
Dalam pelaksanaan Ujian Nasional Tahun 2006, pemerintah juga membuat suatu peraturan bahwa disamping adanya pengawas ruang atau pengawas lokal, agar pelaksanaan ujian tersebut berjalan obyektif dan tingkat kerahasiaannya terjamin dan dapat menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik, maka dibentuk pengawas independen. Pengawas independen ini tugas pokoknya berdasarkan Pedoman Standar Operasioal Ujian Nasional yang dibuat oleh Badan Nasional Standar Pendidikan, adalah melakukan pemantauan pada penerimaan soal dan lembar jawaban Ujian Nasional, melakukan pemantauan pada penyimpanan soal dan lembar jawaban Ujian Nasional, dan melakukan pemantauan pada pengiriman lembar jawaban hasil Ujian Nasional. Pengawas Independen direkrut oleh panitia Ujian Nasional Kabupaten melalui usulan dari penyelenggara atau rayon, atau juga Kelompok Kerja Madrasah. Dimana calon-calonnya berasal dari unsur Dosen, Mahasiswa, dan Masyarakat.
Namun sayang dalam pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2006, Pengawas Independen yang bertugas pada Sekolah atau Madrasah yang menyelenggarakan Ujian Nasional hanya dibekali dengan Surat Keputusan dari Kepala Diknas Pendidikan di Kabupaten/Kota saja, tidak diberikan pembelakalan, tidak adanya petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan pemantauan dan juga tidak ada kewajiban untuk membuat laporan kegiatan pemantauan, karena setiap pengawas independent tersebut tidak dilengkapi dengan instrumen pelaporan atau instrumen kegiatan pemantauan. Alhasil, bahwa pelaksanaan kegiatan pemantauan yang dilakukan oleh Pengawas Independen adalah hanya formalitas belaka, tidak memiliki nilai lebih atau tidak memiliki pengaruh positif terhadap peningkatan mutu dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Mengapa demikian, karena kenyataan dilapangan bahwa penyelenggara Ujian Nasional banyak yang melakukan upaya suksesi agar seluruh siswa lulus ujian, hal ini dapat dipahami bahwa apabila ada siswa yang tidak lulus ujian, apalagi kalau yang tidak lulus ada beberapa orang siswa atau lebih dari itu, maka hal ini akan berdampak besar pada lembaga pendidikan yang bersangkutan. Terlebih lembaga pendidikan itu berstatus swasta. Dampak negatif yang ditimbulkan tersebut diantaranya adalah berkurangnya tingkat kepercayaan masyarakat, sehingga masyarakat enggan untuk melanjutkan pendidikan pada lembaga tersebut karena khawatir tidak akan berhasil atau tidak lulus. Dan apablia tidak lulus maka harus mengulang ujiannya pada tahun yang akan datang. Oleh karena hal demikian maka lembaga pendidikan yang memiliki kekhawatiran peserta didiknya berupaya keras agar dalam pelaksanaan Ujian Nasional siswanya lulus 100% walau dengan cara yang tidak sehat, dengan cara yang curang, dan cara-cara lainnya yang tidak legal.
Untuk dapat mengantisipasi dan mengliminasi praktek-praktek sebagaiman disebutkan di atas, maka dalam pelaksanaan Ujian Nasional yang akan datang perlu dilakukan perbaikan-perbaikan, diantaranya adalah dalam pengawasan pelaksanaan Ujian Nasional perlu ditingkatkan, peran dan fungsi serta kewenangannya juga perlu dipertegas baik penawasan yang dilakukan oleh pengawas ruang maupun oleh pengawas independen. Hal ini dilakukan guna menjamin obyektifitas hasil Ujian Nasional, sehingga tujuan kurikulum dan tujuan lembaga dapat tercapai dengan baik. maka dengan demikian tujuan pendidikan nasional juga dapat tercapai dengan baik tanpa adanya manipulasi dan kecurangan-kecurangan. Amien…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar